Jumat, 23 April 2010

AZBABUN NUZUL surat Al-Ma'un

Pendahaluan

Sejak semula, Al-Qur’an diprogram sebagai kitab suci untuk menjadi petunjuk-bukan hanya kepada masyarakat ketika dn dimana ia diturunkan-tetapi juga untuk masyarakat keseluruhan hingga akhr zaman, sebagai kitab suci untuk akhir zaman, sudah barang tentu ia diharapkan dapat mengektualisasikan dirinya dengan berbagai komonitas zaman yang dilaluinya. Dinamika masyarakat senantiasa berubah, apalagi dalam kurun dekade terkhir ini, sementara teks al-qur’an tidak akan pernah berubah. Maka dibutuhkan proses biologis antara teks dan konteks. Dengan demikian, pemikiran ke arah pengenalan aktualisasi Al-Qur’an di dalam masyarakat harus di anggap sesuatu yang berkelanjutan.
Al-Qur’an adalah mu’jizat yang merupakan kejadian luar biasa yang di anugrahkan Allah kapada rasulnya sebagai tanda kebesaran-Nya dan bukti kerasulan mereka. Mu’jizat ada yang bersifat material sehingga dapat di cerna oleh panca indra dan dalam jangka waktu tertentu terkesan melawan hukum alam yang ada, akan tetapi dengan kemajuan cara berfikir manusia pada akhir-akhir ini, perlahan tapi pasti dapat dijelaskan secara filosofis maupun ilmiyah.
Al-Qur’an ini adalah mu’jizat yang di anugrahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang menjadi pedoman hidup bagi umat manusia. Untuk itulah, Al-Qur’an perlu pengkajian secara mendalam agar kebenarannya menerangi lam semesta. Dan Al-Qur’an merupakan mu’jizat yang bersifat abadi dan bersifat ilmiyah yang sebenarnya mengajak kepada para pambacanya untuk membahas, mengkaji, dan meneliti ayat-ayat dalam rangka menemukan hakikat keilmiyahan yang di tetapkan sebagai suatu ilmu.

Asbabun Nuzul
Surat ini menurut mayoritas ulama’ adalah surah Makkiyah. Sebagian menyatakan Madaniyah’ dan ada juga yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai ayat ketiga turun di mekah dan sisanya di madinah.
Dan surat Al-Ma’un ini di terima Nabi Muhannad ketika beliau masih bertempat tinggal di mekkah. Demikian pendapat banyak ulama. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa awal surat ini turun di mekkah, sebelum nabi berhijrah, sedangkan akhirnya yang berbicara tentang riya’ dalam shalatnya turun di mekkah.Yang berpendapat surat ini Makkiyah, menyatakan ia adalah wahyu yang ke-17 yang diterima oleh Nabi Muhammad. Ia turun sesudah ayat At-Takatsur dan sebelum surah Al-Kafirun.
Adapun sebab turunna ayat ini terdapat dalam riwayat yang di kemukakan bahwa ada orang yang di perselisihkan, apakah abu sufyan atau abu jahal, al-ash ibn walid atau selain dari mereka, konon setiap minggu menyembelih unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu namun, ia tidak memberinya bahkan menghardik dan mengusir anak yatim tersebut. Maka turunlah ayat pertama sampai ketiga dari surat Al-Ma’un.
Dan ayat ke empat dan ketujuh merupakan sebuah kecaman kepada orang-orang munafik yang baru dikenal keberadaannya setelah hijrahnya nabi ke madinah. Ayat ke empat dan ke tujuh ini menekankan kecelakaan bagi orang yang lalai akan makna shalatnya itu, karena kelalaian ini menunjukkan bahwa keadaan mereka tidak berbeda dengan yang mengingkari agama dan hari pembalasan, buktinya adalah sikap riya’ dan keengganan mereka membantu orang-orang yang butuh.
Penjelasan/Pemahaman
Dari Surat Al-Ma’un

Sudah banyak terdapat dalam ayat-ayat yang lain, bilamana tuhan memulainya dengan pertanyaan, adalah berarti menyuruh kepada Rasul-Nya agar ini di perhatikan dengan sungguh-sungguh. Dan bagi umat yang berimanpun agar di perhatikan sungguh-sungguh.
Dan pada surat Al-Ma’un ini yang terdapat pada ayat pertama merupakan pertanyaan, tetapi pertanyaan ini tidak menuntut adanya jawaban. Pertanyaan itu di maksudkan untuk menggugah hati dan pikiran manusia. Karena kalau ayat tersebut tidak di jelaskan berupa pertanyaan seperti itu, akan di sangka bahwa orang yang mendustakan agama ialah semata-semata karena menyatakan tidak mau percaya kepada agama islam. Dan kalau orang yang sudah sembahyang, puasa itu tidak lagi mendustakan agama, akan tetapi orang yang benar-benar mendustakan agama itu ialah pertama: orang-orang yang tidak percaya terhhadap kebenaran agama dan orang-orang yang menolak dan menghardik anak yatim dengan keras. Dan jika anak yatim itu minta kepadanya, maka orang tersebut bersikap sombong dan takabbur, kedua: mereka juga tidak menganjurkan kepada orang lain untuk memberi makan kepada anak yatim dan kaum fakir miakin. Jika mereka ini tidak mau menganjurkan kepada orang lain untuk memberi makan, lebih-lebih untuk dirinya sendiri. Sudah barang tentu tidak akan mau memberi makan kepada anak yatim dan kaum miskin tersebut.
Dan dengan ayat ini jelaslah bahwa kita sesame muslim, terutama sekeluarga dan yang sejiran, ajak mengajak, galak menggalakkan supaya menolong anak yatim dan fakir miskin itu menjadi perasaan bersama, menjadi budi pekerti yang umum. Az-Zamakhsyariy menulis dalam tafsirnya bahwa orang ini nyata mendustakan agama. Karena dalam sikap laku-perangainya dia mempertunjukkan bahwa dia tidak percaya inti agama yang sejati, yaitu bahwa orang yang menolong sesamanya yang lemah akan diberi pahala dan ganjaran mulia oleh Allah. Sebab itu dia tidak mau berbuat ma’ruf dan sampai hati menyakiti orang yang lemah.
Ini juga termasuk orang-orang yang demikian. Walaupun dia beramal, kadang-kadang dia memberi makan kepada fakir miskin dan anak yatim. Kadang-kadang dia menganjurkan memberi mkan fakir miskin, dan apabila dia melakukan shalat hanya dengan gerak jasadnya saja tanpa membawa bekas di dalam jiwa sedikit pun, dan tidak membuahkan hasil dari tujuan shalat. Hal ini karena hatinya kosong, tidak menghayati yang di ucapkan oleh mulutnya. Dengan demikian , rangkaian surat ini menegaskan bahwa keimanan seseorang yang ditunjukkan dengan ibadah ritual seperti shalat menjadi tidak bermakna bahkan dinilai mendustakan agama bila tidak disertai dengan ibadah social.ibadah ritual dan social laksana dua sisi mata uang, berbedatapi tidak terpish. Karena itu, pelaksanaan terhadap salah satunya tidak secara mutlak menjadikan orang itu beragama. Beragama yang benar ditandai dengan sikap total dan menyeluruh dalam pengabdin. Dari sini bisa di mengerti mengapa musyrik dan kafir menjadi sesuatu yang dilarang dalam islam dan mengapa kita harus kaffah dalam ber-islam. Sebab, musyrik menunjukkan ketidak totalan seseorang dalam mengabdi dan menunjukkan tidak tahu dirinya orang yang bersangkutan.
Dan Al-Ustaz Imam Muhammad Abduh mengatakan”mereka adalah orang-orang yang mendirikan shalat. Tetapi, mereka hanya melakukan amal-amal itu jika berada di hadapan orang banyak. Dan apabila ia mau beramal, biasanya dengan syarat tidak mengeluarkan biaya, tidak merugikan kesehatan badannya, dan tidak mengurangi martabatnya. Mereka tidak mau memberi kebutuha-kebutuhan orang lain secara layak, dan tidak mau membangkitkan perasaan balas kasihan terhadap orang lain untuk memberi pertolongan orang-orang yang kelaparan yang bisa menenangkan mereka”.
Analisis dan Kontekstualisasi
Dari Surat Al-Ma’un

Dalam mushaf yang beredar sekarang ini, surat Al- Ma’un diletakkan antara surat Al-Quraisy dan Al-Kautsar. Dalam surat Quraisy dijelaskan bahwa Allah memberi anugrah pangan kepada manusia dengan mempersiapkan lahan dan sumber daya alam(SDA) sehingga tidak kelaparan, baik yang diperoleh dengan berdagang, eksplorasi alm naupun lainnya. Penjelasan serupa terdapat dalam surat Al-Kautesar yang dilanjutkan dengan perintah untuk shalat dan menyembelih hewan kurban. Dalam surat Al-Ma’un, Allah mengecam orang yang berkemampuan, tetapi enggan, jangan memberi pangan, menganjurkanpun tidak.
Di dalam surat Al-Ma’un terdapat kata-kata “الدين”, kata ini lazim diterjemahkan dengan “agama”. Sebenarnya, kata ini memiliki beberapa arti seperti cara, adapt kebiasaan, peraturan, undang-undang, ta’at atau patuh, mentauhidkan tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasehat, pemilikan dan pemaksaan.
Dari makna tersebut, dapat di klasifikasikan menjadi empat kategori,yakni 1) pemaksaan, penguasaan, hukum dan perintah untuk di ta’ati, sehingga memaksa pihak kedua untuk di ta’ati, 2) rasa ta’at, penghambaan dan kerendahan kepada seseorang dan menuruti perintahnya serta menerima kerendahan di bawah paksaannya,3) syara’, undang-undang, jalan, mazhab, agama, adat dan taklid dan 4) balasan, putusan dan perhitungan.
Bila di teliti lebih jauh, maka makna”الدين” seperti tergambar di atas menunjukkan adanya dua pihak yang melakukan interaksi, baik dalam dataran horizontal maupun vertical. Hal ini menunjukkan bahwa, kata “الدبن” tidak hanya memiliki makna religius tapi juga non religius. Namun dari makna sebanyak itu, kata “الدبن” ternyta se-akar kata dengan kata yang berarti hutang(Dain). Persamaan akar kata ini bukan berarti tampa makna, tetapi memiliki relasi kuat. Artinya adalah, makna dasar dari agama sebenarnya adalah hutang itu sendiri yang harus dibayar. Hutangnya adalah eksistensi manusia itu sendiri yang semula tidak ada (QS.Al-A’raf[7]:172-3 dan Al-Mu’minun[23]:13-4).
Manusia tidak memiliki apa yang di bayarkan kecuali diri sepenuhnya, maka hutang itu tidak lain dibayar dengan penyerahan dirinya kepada pihak penghutang dalam bentuk ketaatan dan ibadah pada umumnya. Oleh karena itu, din dalam pengertian regiliusnya menunjukkan hubungan antara orang yang memiliki hutang yang disebut dengan ‘abd (hamba) dan penghutang. Dalam bahasa agama islam, sal;ah satu nama Tuhan adalah Dayyan (sang pemberi hutang). Oleh karena itu-lebih lanjut perbuatan mengabdi disebut dengan ibadah. Pernyataan Al-Qur’an surat al-baqarah:256 bahwa tidak ada paksaan dalam agama merupakan penegasan makna di atas yang tepat bahwa beragama bukanlah hak, tapi kewajiban sebagaimana hutang.
Dalam surat Al-Ma’un ini lebih jelas di tegaskan kembali bahwa orang tidak tahu diri dan lupa terhadap hutangnya pada hakikatnya bekum beragama. Kalaupun beragama, merupakan praktek beragama yang absurd dan bohong belaka. Absurditas beragama itu ditunjukkan dengan tidak seimbangnya ibadah horizontal dan vertical.
Dan hal tersebut tidak lain adalah tanda orang yang tidak menghayati makna dan tujua shalat, karena shalat merupakan refleksi dan aktualisasi dari sikap lemah dan butuhnya manusia kepada Tuhan sekaligus menggambarkan keagungan dan kebesaran-Nya. Karena itu tidak wajar kalau manusia bermuka dua (riya’) ketika melakukannya. Karena manusia berada dalampihak yang butuh, maka berikutnya menjadi tidak wajar kalau manusia menolak membantu sesamanya yang juga butuh, apalagi jika ia memiliki kemampuan untuk itu.karena itu, jika ia enggan memberi pertolongan, maka pada hakikatnya ia tidak menghayati arti tujuan shalat.
Kesimpulan
Dari semua penjelasan yang telah di paparkan diatas, maka dapat saya simpulkan bahwa :
Orang-orang yang tidak percaya terhadap kebenaran agama itu mempunyai cirri-ciri:1) suka menghina orang-orang yang tidak mampu, 2)bersikap sombong kepada mereka. Keduanya merupakan perbuatan bakhil terhadap kekayaannya, tidakmau memberikan sebagiannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Atau, orang itu tidak mau memberitahukan kepada orang yang mampu agar mereka bisa memberi pertolongan kepada orang-orang yang benar-benar tidak miskin dan tidak bekerja, sehingga mereka dapat terlepas dari kesengsaraan.
Sekalipun orang-orang yang suka menghina orang lain, bakhil, dan tidak menghimbau orang lain untuk berbuat kebajikan itu adalah orang-orang yang shalat maupun tidak, maka mereka tatap dikelompokkan sebagai orang yang tidak percaya kepada agama. Shalat yang mereka lakukan ternyata tidak bisa melepaskan diri dari pergolongan ini.karena, orang yang percaya kepada agama, pasti ia akan menjadi orang yang tawadu’¬- tidak takabbur terhadap fakir miskin, dan tidak akan mengusir atau menghardik mereka.
Dan shalat ini juga menggambarkan kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada Allah, sekaligus menggambarkan keagungan dan kebesaran-Nya. Kalau demikian, wajarkah manusia bermuka dua(riya’)ketika melakukannya, wajarkah bahkan mampukah manusia menipu-Nya? mereka berbuat demikian, berarti mereka tidak menghayati esensi shalatnya serta lalai dari tujuannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abul Al-Hasan Ali Ibn Ahmad, Asbabun Nuzul, Mesir, Daarus-Salam
2. Malik, Abdul, Sheikh Bin Abdul Karim Amrullah(HAMKA), Tafsir Al-Azhar, Juzu' XXX
3. Musthafa, Ahmad, Al-Muraghi, Terjemahan Tafsir Al-Muraghi, Semarang, CV. Thaha Putra, 1993
4. Shihab M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta, Lentera Hati, 2002
5. Abdul Ghafur, Waryono. MA.g, Tafsir Sosial(Mendialogkan Teks Dengan Konteks), Yogyakarta, eLSAQ Press, 2005
6. Jamaluddin, Muhammad Bin Ahmad Mahalli, Tafsir Al-Qur'an, Surabaya, Al-Hidayah
7. Thaha Putra, Ahmad. Drs. H. Al-Qur'an Dan Terjemahannya, Semarang, CV. Asy-Syifa', 1992
8. Syarat-Syarat Kecakapan Ibadah Amaliah(SKIA), Sumenep, An-Nuqayah Latee, 2006